Penyelewengan Pajak

Standar

Jenis-jenis Kebijakan Pemerintah yang Rentan Terhadap Penyelewengan Administratif (Douglas, 1953:22) 

Kebijakan pemerintah yang membiarkan kontrak-kontrak besar berisi syarat-syarat yang menguntungkan para kontraktor; Kebijakan ini sering mengakibatkan penyelewengan administratif terjadi, terutama pada proyek-proyek besar yang memanfaatkan lahan strategis. Ini terjadi karena adanya koalisi kepentingan penguasa dan pengusaha tanpa memperhatikan kepentingan rakyat. Dengan tidak mempedulikan aspirasi rakyat sama sekali, rakyat lah yang akan menjadi pihak paling dirugikan atas kebijakan pemerintah yang mengatasnamakan rakyat. Kontraktor bekerja sama dengan pemerintah dalam melaksanakan proyek dengan kontrak-kontrak besar. Kontraktor dapat menyuap pemerintah dengan sejumlah uang agar dapat menjalankan proyeknya dengan mulus, kemudian pemerintah dapat memberikan syarat-syarat mudah yang memperlancar jalannya pencapaian tujuan profit yang diinginkan para kontraktor. Kasus semacam ini banyak sekali terjadi di Indonesia, bahkan di setiap daerah-daerah di Indonesia, penyelewengan semacam ini hampir selalu terjadi dan sudah menjadi rahasia umum. Contohnya, pembangunan mall-mall di Kota Palembang, syarat-syarat yang ditetapkan tidak menyulitkan para kontraktor untuk melakukan pembangunan mall-mall tersebut. bahkan, rencana akan dibangunnya under mall (mall bawah tanah) yang seharusnya tidak bisa dilakukan begitu saja seolah dapat dilakukan dengan mudah tanpa harus memenuhi syarat yang berat. Sangat bertolak belakang apabila yang mempunyai urusan adalah masyarakat, masyarakat akan dihadapkan pada birokrasi yang berbelit-belit, tidak efektif dan tidak efisien, mempersulit gerakan masyarakat yang mengindikasikan agenda pemerintah yang tidak pro rakyat. 2. Ketika Pemerintah memungut pajak yang sangat tinggi sehingga mendorong para pengusaha untuk menyuap aparat perpajakan sebagai imbalan pengurangan pajak; Pemerintah menganggap bahwa pemasukan/pendapatan negara yang terbesar dapat diambil dari sektor pajak. Dengan anggapan semacam ini, pemerintah begitu bersemangat menetapkan tarif pajak yang begitu tinggi. Penetapan tarif tersebut seringkali dilakukan tanpa mempertimbangkan konsekuensi yang mungkin muncul. Pada dasarnya, pemungutan pajak dengan tarif yang tinggi harus diimbangi dengan integritas para aparatur negara khususnya pelaksana pemungutan pajak tersebut. karena, pada kenyataannya, penetapan tarif pajak yang tinggi justru menimbulkan efek negatif bagi negara, memperbesar peluang korupsi dan mempertinggi kasus penyuapan. Sering terjadi pengusaha yang menyuap aparat perpajakan agar ia dapat membayar pajak lebih murah, oknum aparat perpajakan berintegritas rendah yang tergoda dengan tawaran sejumlah uang yang akan masuk ke kantong pribadinya tentu saja mau menerima permintaan dari oknum pengusaha yang menyuap tersebut. Contoh kasus untuk penyelewengan administratif dari kebijakan ini adalah berita yang sempat heboh disiarkan di berbagai media massa yaitu kasus mafia pajak yang dilakukan oleh salah seorang aparat perpajakan, Gayus Tambunan. Itu pun hanya segelintir kasus yang terkuak dari sekian banyak kasus kejahatan perpajakan yang terjadi di Indonesia. 3. Penetapan tarif untuk industri-industri tertentu seperti kereta api, listrik dan telepon juga harga-harga komunitas tertentu. Ini mendorong perusahaan-perusahaan besar dan konglomerat untuk mencoba mengendalikan tarif dan harga; Pemerintah sebagai pengatur kegiatan negara, juga mengatur kegiatan perekonomian sehubungan dengan penetapan tarif industri-industri tertentu. Adanya industri-industri milik pemerintah yang tarifnya ditetapkan oleh pemerintah dengan sendirinya menciptakan suatu persaingan harga dengan perusahaan swasta dan pada akhirnya perusahaan-perusahaan besar dan konglomerat pemilik industri swasta yang pada akhirnya lebih unggul, menang dan mencoba terus mengendalikan tarif dan harga yang ditetapkan pemerintah. Lagi-lagi karena keinginan untuk mengeruk kepentingan pribadi, pemerintah pun menerima tawaran dari perusahaan-perusahaa besar dan konglomerat yang mencoba mengendalikan tarif dan harga. Hal ini agak mirip dengan kasus sebelumnya dimana pengusaha yang tidak mau membayar pajak tinggi menyuap oknum aparat perpajakan. Contoh kasus untuk penyelewengan kekuasaan dalam bentuk penetapan tarif industri ini antara lain penetapan tarif telepon yang bersaing dengan tarif GSM perusahaan swasta dan adanya pengusaha yang menggunakan kekuasaan pemerintah agar ikut serta dalam pengendalian tarif dan harga. Selain itu juga penetapan harga standar oleh pemerintah seringkali membuat para pengusaha besar dan konglomerat menyuap pemerintah untuk membayar tarif yang lebih rendah. 4. Jika pemerintah menggunakan kekuasaan untuk memilih pihak-pihak yang boleh memasuki suatu industri. semisal, pertambangan dan peleburan logam, pertelevisian atau jasa angkutan umum; Penyelewengan kekuasaan semacam ini sudah sangat umum terjadi di Indonesia. Tidak hanya pihak swasta yang ada di Indonesia, bahkan pihak swasta asing yang jelas-jelas bertujuan mengeksploitasi besar-besaran, mengeruk habis-habisan kekayaan alam Indonesia mendapatkan izin dari Pemerintah Indonesia. Contoh kasus yang terjadi misalnya pada pertambangan batu bara di Kabupaten Lahat, perusahaan swasta, PT. Bukit Asam yang diuntungkan dan juga sejumlah oknum pemerintah, sedangkan masyarakat justru tidak memiliki akses untuk mendapatkan keuntungan dalam suatu industri yang ada. Contoh lain yang juga pertambangan besar adalah PT. Freeport dimana yang diuntungkan adalah pihak swasta asing, sedangkan masyarakat sekitar justru jauh dari kesejahteraan dan kemakmuran. 5. Tatkala pemerintah memberikan pinjaman atau pembebasan pajak untuk pabrik atau peralatan jangka pendek; Tentu saja hal ini dapat menyebabkan terjadinya penyelewengan administratif, karena pinjaman atau pembebasan pajak untuk pabrik atau peralatan jangka pendek dapat membuat pihak swasta leluasa mengambil keuntungan besar. Penerbitan pembebasan pajak atau tax holiday bagi sektor industri dinilai kurang tepat. Contohnya pembebasan pajak pada industri minyak bumi dan gas serta telekomunikasi yang tidak tepat. Negara menjadi kehilangan pemasukan yang seharusnya didapat dari sektor pajak tersebut, negara menjadi dirugikan karena eksplorasi sumber daya yang dilakukan pabrik-pabrik tersebut juga dibebaskan, dengan pajak yang juga disebabkan negara pun pada akhirnya tidak mendapatkan apa-apa. 6. Apabila bagian-bagian tertentu dari birokrasi pemerintah memiliki kekuasaan untuk mengalokasikan bahan-bahan mentah; Kebijakan ini rawan penyelewengan administratif karena bagian tertentu dari birokrasi pemerintah yang memiliki kekuasaan untuk mengalokasikan bahan-bahan mentah memungkinkan oknum pemerintah dari bagian tersebut untuk mengambil keuntungan dari kekuasaan yang dimilikinya. Sangat memungkinkan terjadinya penyimpangan dimana ternyata bahan-bahan mentah yang seharusnya dialokasikan pada badan usaha milik pemerintah ataupun pada masyarakat ternyata masuk ke dalam pos pribadi, alhasil, masyarakat yang seharusnya mendapat bagian secara adil harus menerima kenyataan bahwa ia harus kembali berperan sebagai pihak yang dirugikan. Contohnya, pemerintah saat akan menyalurkan bantuan raskin (beras miskin) ke masyarakat, pembagiannya tidak adil, seringkali yang mendapatkan raskin bukan orang yang membutuhkannya. 7. Pada saat subsidi pemerintah dibayarkan untuk proyek-proyek umum baik secara terbuka maupun secara diam-diam; Penggunaan subsidi pemerintah untuk dibayarkan pada proyek-proyek umum tersebut dapat merugikan pihak masyarakat. Pemerintah seolah sangat leluasa dalam menggunakan subsidinya untuk proyek-proyek umum dan tender-tender tertentu yang dinilai dapat menguntungkan sedangkan untuk masyarakat tidak diuntungkan. Selain itu, tindakan pemerintah semacam ini juga sangat rawan korupsi. Contoh: proyek pembangunan wisma atlet untuk Sea Games di Palembang oleh Pemerintah provinsi Sumsel maupun Kota Palembang bekerja sama dengan pemerintah pusat yang pada akhirnya mengindikasikan adanya kasus korupsi yang muncul ke permukaan.

KONDISI PERPAJAKAN DI INDONESIA

  • Administrasi pajak masih rumit dan belum optimal

–      Proses pengurusan dokumen pajak masih dirasakan rumit, karena banyaknya dokumen yang harus dipenuhi

–      Dari wajib pajak perseorangan yang terdaftar (sekitar 3 juta), hanya 70-80% yang aktif mengirimkan SPT

  • Sistem pengawasan pajak belum optimal, masih banyak kasus penyelewengan pajak (tax evasion)

–      Beberapa kasus penyelewengan telah dibongkar, dengan modus yang makin beragam:

  • Tunggakan pajak senilai Rp.962 milyar (2003) dilakukan oleh 96 wajib pajak. Dua orang telah dikenakan penyanderaan badan
  • 235 aparat dikenakan sanksi, terlibat kasus penyelewengan pajak selama tahun 2003
  • Restitusi pajak Rp.13,3 milyar dengan transaksi ekspor fiktif

–      Diduga masih ada penyelewengan-penyelewengan lain yang belum terbongkar

  • Adanya otonomi daerah telah memunculkan pungutan-pungutan baru bagi wajib pajak, melalui perda-perda pajak dan retribusi daerah. Sebagian perda bermasalah, karena dilakukan pada obyek-obyek yang seharusnya dipungut pemerintah pusat:

–      Pungutan pada pertambangan timah di Bangka

–      Pungutan atas kegiatan transportasi barang antar daerah

–      Pungutan atas usaha komunikasi

  • Sistem monitoring perda-perda tentang pungutan di pusat dan daerah belum terintegrasi dengan baik, masih terjadi pungutan yang tumpang tindih antara pusat dan daerah

Perlu Ketegasan Pemerintah untuk Kasus Penyimpangan Pajak

Kasus pajak di Indonesia saat ini sudah meresahkan banyak pihak. Pajak yang seharusnya menjadi alat pembiayaan dan pengaturan negara sudah di komoditikan berbagai kepentingan. Pemerintah dianggap kurang tegas dan memberikan banyak peluang dalam menghadapi kasus ini. Terlalu banyak terjadi pelanggaran atau kolusi di berbagai lini. Memang ada yang ketahuan dan mendapat sanksi, namun jika dibandingkan dengan yang tidak ketahuan, jumlahnya lebih banyak yang tidak ketahuan. Salah satunya adalah kasus Gayus. Dan dalam hal ini, Dr H.Taufik Iman Santoso SH MHum memberikan pandangannya.

“Hukum yang mengatur tentang perpajakan sebenarnya sudah memenuhi asas dan prinsip perpajakan. Namun, pajak yang seharusnya dipungut pada orang yang sudah mendapat keuntungan atau penghasilan berlaku sebaliknya. Ini yang agak menyimpang. Seharusnya wajib pajak dibiarkan menghasilkan dulu, setelah wajib pajak berproduksi, dan baru dikenakan. Dengan demikian pendapatan dari sektor pajak akan dapat membiayai dan memfasilitasi masyarakat dalam berproduktif sehingga omset pajaknya akan terus membesar sebanding dengan meningkatnya perekonomian nasional, dengan demikian akan memberikan manfaat,” tutur Taufik menjelaskan hukum yang mengatur pajak di Indonesia.

Kasus Gayus sudah tidak asing lagi di telinga para pemburu berita. Kejahatan kerah putih yang bersifat kolusi tersebut, semuanya berdasar atas keputusan negosiasi antara ’Gayus-Gayus’ dengan negosiator.  “Salah satu contoh kasus lainnya dalam hal penetapan NJOP, yang dapat  diatur agar wajib pajak dapat mengurangi besarnya biaya pajak atas tanah dan bangunan. Akan tetapi ada kalanya masalah NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) ini memberatkan, misalnya ketika melakukan transaksi jual beli rumah yang harganya sudah deal dengan pembeli dalam transaksi tersebut ternyata NJOP lebih besar dari harga jual rumah itu sendiri. Ini mengakibatkan kewajiban yang harus dibayar melebih dari kewajiban seharusnya, ini sama dengan negara melakukan perampokan pada warga negaranya atas nama undang-undang,” demikian Taufik menerangkan.

Ketika ditanya apakah kasus Gayus ini bisa disamakan dengan perencanaan pajak, Taufik mengungkapkan bahwa pendapatan pajak itu tidak bisa ditarget hasilnya, karena pajak itu bukan produksi negara, akan tetapi kewajiban warga negara pada negara, yang didasarkan pada persentase atau ketetapan pada hasil produktifitas setiap warganya  Jadi, seharusnya berapapun hasil pajak yang diterima, itulah hasil pendapatan pajak negara. Jika hasil tersebut ditarget, maka ketika target tersebut tercapai, sisanya akan dimanipulasi karena telah melebihi target. Inilah awal kasus Gayus tersebut mengakar.

Menurut Taufik, progres penanganan kasus Gayus di Indonesia saat ini adalah masih banyak ‘Gayus-Gayus’ yang tidak popular dan wajib pajaknya kecil sehingga tidak ketahuan. Kita sudah tahu bagaimana perilaku aparat negara kita, kita sudah kehilangan intergritas sebagai bangsa, semua berfikir untuk diri sendiri atau kelompoknya. Seharusnya kasus Gayus harus ditangani dengan benar, karena ini menyangkut hak warga negara, karena wajib pajak sudah tidak yakin pada aparat yang menangani pajaknya. Sehingga bisa muncul opini buat apa bayar pajak kalau dipermainkan. Oleh karenanya, penanganan Gayus harus tegas transparan, dan harus bisa melibatkan atasannya karena Gayus tidak mungkin bertindak tanpa persetujuan atau diketahui atasannya,” ujarnya.

Gayus sendiri juga sempat berplesir ke Bali. Apakah dalam hal ini Polri kecolongan sehingga Gayus bisa berpergian? Taufik mengatakan, bukan karena Polri kecolongan. ”Semua itu pasti ada rekayasa dan maksud tersembunyi. Perlu dikaji lebih dalam lagi, apakah memang Gayus seorang penggemar berat tenis sehingga harus menonton di tempat yang terbuka dengan menyuap berpuluh-puluh juta dan dikawal seperti itu. Lucu juga kalau melihat kejadian seperti Gayus tersebut,” lanjutnya.

Dosen FH yang telah mengajar di Ubaya sejak 1996 ini berpendapat, jika semua petugas aparat hukum itu tegas dan berlaku sesuai dengan peraturan atau hukum yang ada, dan tidak tebang pilih, maka masalah Gayus ini bisa cepat terselesaikan. Dalam hal ini aparat hukum harus tanpa pandang bulu, tidak menunggu siapa yang bisa di “gorok” dulu, lalu baru diperiksa dan dibebaskan setelah ada transaksi. Apakah sebuah jabatan sudah merupakan barang komoditi?

Tinggalkan komentar